Refleksi setahun ‘Rumah Contoh Kampung Tongkol’

Rembuk! dan ASF Indonesia mengajak teman-teman untuk diskusi seru bersama Martin Suryajaya dan Kamil Muhammad.
Jumat, 11 November 2016
Ruang Gerilya, Jl. Raden Patah 12, Bandung
Gratis namun tempat terbatas!!!
Pendaftaran bit.ly/rembuk

Arsitektur sering kali dipahami sebagai sebuah keluaran karya yang dihasilkan lewat kerja arsitek, sebagai seorang pencipta, pemilik kuasa, serta standar selera, yang mengendalikan seluruh rangkaian proses yang ada. Arsitektur dengan segala kelengkapan struktur, guna, serta keindahannya,menjadi otoritas dan otonomi sang arsitek. Arsitek adalah sang seniman. Dalam konteks ini, memahami karya arsitektur adalah dengan memahami arsiteknya, vice versa.

Namun begitu, beberapa dekade terakhir, pendekatan praktik profesi arsitek yang otonom dengan kuasa terpusat pada arsiteknya mulai dianggap tidak lagi cukup untuk menghadapi tantangan jaman, bahkan dianggap sebagai sumber persoalan. Manfredo Tafuri (1973) menyebut model praktik seperti ini telah mencabut arsitek dan arsitekturnya dari tanah realita, hal yang kemudian disebutnya sebagai matinya arsitektur.

Kesadaran ‘baru’ inilah yang kemudian mendorong lahirnya praktik arsitektur yang lain, yakni model praktik yang mengedepankan prinsip partisipasi, yang mensyaratkan terjadinya distribusi kuasa dalam proses kerjanya. Konsekuensi yang kemudian muncul dalam praktik ini adalah; arsitek bukan lagi pemegang otoritas tunggal atas nilai suatu karya. Dalam praktiknya, hal ini juga berbuntut panjang, sejalan dengan terjadinya distribusi kuasa (multi author), proses kerja perancangan tidak lagi berjalan linier dan dapat ‘(sepenuhnya) dikontrol’, seringkali membesar dan melebar ketimbang mengerucut atau (dipaksa untuk) fokus, karenanya keluaran karya pun menjadi sangat-sangat berbeda dengan keluaran karya arsitektur umumnya.

Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Lalu dimanakah arsitekturnya? Siapa sebenarnya arsiteknya? Apa itu keindahan?”

Diskusi kali ini, mencoba menjawab pertanyaan ‘ringan’ tersebut dengan mengupas karya-karya dari Architecture Sans Frontieres Indonesia (ASF-ID), yang mengedepankan metoda partisipasi dalam banyak praktik kerjanya, lewat kaca mata filsafat estetika. Filsafat estetika dipakai sebagai perangkat kritis untuk menjawab pertanyaan di atas secara luas dan mendalam karena melalui cabang filsafat ini, kita akan dibantu untuk melihat keindahan sebagai bukan satu-satunya nilai estetis (masih ada nilai estetis lain dalam estetika), serta memahami estetika yang bukan hanya membahas tentang nilai estetis tetapi juga pengalaman estetis: seperti hubungan antara karya dengan masyarakat (Martin Suryajaya, 2016).

Leave a comment